
New York – Jakarta]
Ketegangan geopolitik dunia mencapai titik didih. Rentetan konflik bersenjata yang semula bersifat regional kini menjelma menjadi konfrontasi global yang melibatkan kekuatan-kekuatan besar dunia. Para analis menyebut situasi ini sebagai permulaan dari Perang Dunia III, konflik multidimensi yang bukan hanya meluluhlantakkan infrastruktur, tapi juga menyisakan luka psikologis yang mendalam bagi umat manusia.
Di tengah kabar kehancuran dan krisis kemanusiaan yang terjadi di berbagai belahan dunia, muncul satu bidang yang kini makin krusial perannya namun kerap terabaikan: psikologi.
“Dalam setiap perang, yang hancur bukan hanya kota dan negara. Tapi juga manusia di dalamnya — cara berpikirnya, rasa amannya, hingga identitas dirinya,” ujar Joni Prasetyo, konselor psikologi dan pendidik di bidang kesehatan mental.
Menurut Joni, dampak psikologis dari konflik global ini jauh lebih luas dari sekadar trauma sesaat. Perang bisa menyebabkan PTSD (Post-Traumatic Stress Disorder) massal, kecemasan kolektif, hingga krisis identitas nasional. Bahkan generasi anak-anak yang tumbuh dalam situasi konflik berpotensi kehilangan kepercayaan terhadap masa depan.
Psikologi di Medan Perang: Bukan Sekadar Terapi
Peran psikolog dan konselor kini menjelma menjadi garda terdepan dalam misi kemanusiaan. Mereka hadir bukan hanya di ruang terapi, tapi juga di kamp pengungsian, di balik layar diplomasi, hingga dalam penyusunan strategi pemulihan bangsa pasca-konflik.
“Psikologi tidak bisa lagi dianggap sebagai pelengkap. Ia adalah bagian dari strategi bertahan hidup. Pendampingan psikososial, manajemen stres kolektif, hingga intervensi komunitas harus jadi prioritas,” tegas Joni Prasetyo, yang juga aktif mengembangkan program pemulihan psikologis pasca-bencana sosial.
Perang Modern, Luka Tak Terlihat
Berbeda dengan perang masa lalu, Perang Dunia III memiliki dimensi yang lebih kompleks. Selain senjata konvensional dan siber, serangan kini juga menyasar stabilitas emosional masyarakat melalui propaganda, manipulasi informasi, dan narasi kebencian di media sosial.
Dalam situasi ini, psikologi tidak hanya berperan menyembuhkan, tetapi juga membentengi masyarakat dari infiltrasi psikologis musuh. “Pendidikan literasi emosional dan kemampuan berpikir kritis menjadi vaksin mental terhadap perang informasi,” kata Joni.
Harapan yang Masih Menyala
Meski dunia berada di titik nadir, para profesional kesehatan mental seperti Joni Prasetyo mengingatkan bahwa harapan masih ada. “Sejarah membuktikan: manusia bisa bangkit dari kehancuran, selama ada yang menjaga sisi kemanusiaannya,” ucapnya.
Saat negara-negara mempersiapkan senjata, dunia juga harus menyiapkan ruang-ruang pemulihan jiwa. Karena dalam setiap reruntuhan, ada manusia yang ingin hidup kembali—dengan utuh, damai, dan bermakna.