
Sleman, DIY – Di tengah laju urbanisasi dan makin menyempitnya ruang terbuka hijau, Kalurahan Condongcatur hadir sebagai contoh inspiratif bagaimana kearifan lokal dan inovasi modern dapat berjalan beriringan. Melalui inisiatif Riska Dian Nur Lestari, S.TP., M.Sc., Carik Kalurahan Condongcatur, lahan tidur seluas hampir 1 hektare yang merupakan bagian dari tanah anggaduh yaitu tanah kas desa yang dikelola pamong selama masa jabatannya berhasil diubah menjadi kebun pangan produktif, menghidupkan kembali filosofi legendaris Sultan Agung dari Kerajaan Mataram.
Pengelolaan tanah anggaduh ini merupakan bentuk nyata pemanfaatan aset desa yang selama ini kerap dibiarkan pasif. Dukungan dari Lurah dan Pemerintah Kalurahan Condongcatur, yang memberi kepercayaan dan ruang gerak kepada pamong untuk berinovasi, menunjukkan kepemimpinan yang visioner: tidak hanya menjaga nilai-nilai adat, tetapi juga membuka jalan bagi lahirnya solusi nyata dalam bidang ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Pengelolaan tanah anggaduh ini merupakan bentuk nyata pemanfaatan aset desa yang selama ini kerap dibiarkan pasif. Dukungan dari Lurah Condongcatur, Dr. H. Reno Candra Sangaji, S.IP., M.IP., dan Pemerintah Kalurahan yang dipimpinnya telah menjadi fondasi utama keberhasilan inisiatif ini. Kepercayaan dan ruang gerak yang diberikan kepada pamong untuk berinovasi menunjukkan kepemimpinan yang visioner menjaga nilai-nilai adat sekaligus mendorong solusi nyata bagi ketahanan pangan dan pemberdayaan ekonomi lokal.
Sejak Juni 2023, Riska menanam pohon alpukat dan kelengkeng sebagai tanaman tahunan, dipadukan dengan sistem tumpang sari tanaman musiman seperti cabe, tomat, semangka, dan brambang. Dengan irigasi tetes yang hemat air, kebun ini tidak hanya produktif, tetapi juga ramah lingkungan.
Ini bukan sekadar soal panen besar, tapi membuktikan bahwa lahan tidur bisa hidup kembali dan memberi manfaat pangan, oksigen, serta nilai ekonomi bagi masyarakat sekitar, ujar Riska.
Gerakan ini tidak terpisah dari tradisi. Filosofi Lumbung Pangan Mataram yang diwariskan Sultan Agung (1613–1645), raja visioner yang memadukan pertanian dan peternakan dalam sistem Crop-Livestock (CLS), menjadi inspirasi utama. Prinsipnya sederhana dan mendalam:Nandur opo sing dipangan, mangan opo sing ditandur. (Tanam apa yang dimakan, makan apa yang ditanam)
Riska membawa prinsip ini ke era modern dengan mengelola tanah anggaduh menjadi kebun produktif yang menegaskan kemandirian pangan dan keberlanjutan lingkungan.
Lahan seluas 1 hektare yang dikelola dengan sistem tumpang sari menyimpan potensi pendapatan yang luar biasa. Jika pohon alpukat, kelengkeng, serta tanaman pendamping seperti cabe, tomat, semangka, dan brambang mencapai masa panen optimal, hasilnya bisa sangat menguntungkan. Meski pohon buah tahunan seperti alpukat dan kelengkeng membutuhkan waktu minimal tiga tahun untuk mulai berbuah, masa tunggu ini bukanlah hambatan.
Selama tiga tahun pertama, tanaman tumpang sari menjadi tumpuan utama pendapatan, sekaligus menutup biaya operasional. Setelah itu, panen buah dari pohon utama mulai memberikan tambahan pendapatan yang signifikan dan berkelanjutan.
Ketahanan pangan dan ekonomi memang butuh proses dan kesabaran. Namun, dengan pengelolaan yang tepat, hasilnya akan membawa manfaat jangka panjang yang luas,” ungkap Riska.
Pendapatan yang terus tumbuh ini membuka peluang bagi BUMKal setempat untuk menyuntikkan modal, meningkatkan kesejahteraan para pamong desa, dan memperkuat fondasi ekonomi desa secara keseluruhan. Sebuah langkah nyata menuju masa depan yang lebih sejahtera bagi Condongcatur.Riska menegaskan,
Ketahanan pangan dan ekonomi itu proses yang bertahap. Tapi dengan pengelolaan tepat, manfaatnya akan berkelanjutan dan luas.
Pendapatan ini membuka peluang penguatan BUMKal dan kesejahteraan pamong desa, sekaligus memperkokoh ekonomi lokal.
Langkah ini membuktikan bahwa ketahanan pangan tidak harus menunggu program besar pemerintah. Dari satu lahan anggadoh yang dikelola dengan tekad dan inovasi, lahir contoh nyata bahwa perubahan besar dapat dimulai dari individu.
Desa yang kuat dimulai dari individu yang bergerak, kata Riska.
Kini bayangkan bila seluruh hak anggadoh di Condongcatur diolah secara produktif dengan pola serupa, dikelola bersama BUMKal, dan mengadopsi filosofi Lumbung Pangan Mataram:
• Desa mandiri pangan sejati
• Sumber pendapatan berkelanjutan
• Penggerak ekonomi lokal yang terus menerus
• Pelestarian lingkungan dan keberlanjutan
Kalau seluruh tanah anggadoh dikelola produktif dan terintegrasi dengan BUMDes, Condongcatur bukan hanya mandiri pangan, tapi siap jadi pusat ekonomi desa yang kuat bahkan berpotensi ekspor, tutup Riska penuh optimisme.
Apa yang terjadi di Condongcatur adalah lebih dari sekadar mengolah tanah anggaduh. Ini adalah gerakan membangkitkan kembali budaya agraris, memperkuat kemandirian pangan, dan mewujudkan potensi ekonomi desa melalui filosofi Lumbung Pangan Mataram yang hidup kembali.
Langkah kecil ini membuka jalan bagi kemakmuran abad ke-21, membuktikan bahwa warisan masa lalu bisa menjadi kunci masa depan yang lebih sejahtera dan berkelanjutan.
