Joni prasetyo saat bertemu aktor jefri nichol

Kedewasaan bukan hanya soal bertambahnya usia, tapi juga perkembangan mental dan emosional yang kompleks. Menurut teori perkembangan Erik Erikson, masa dewasa awal (18–40 tahun) adalah fase pencarian identitas dan pembentukan hubungan yang intim. Gagal di fase ini sering membuat seseorang merasa terasing, bahkan kehilangan arah.

Daniel J. Levinson, dalam The Seasons of a Man’s Life, menjelaskan bahwa proses menjadi dewasa melibatkan life structure—gabungan antara impian, pekerjaan, hubungan, dan nilai hidup. Di sinilah konflik batin kerap muncul: apakah kita mengejar ekspektasi sosial, atau mendengarkan panggilan hati?

Penelitian dari Harvard Study of Adult Development—salah satu studi terpanjang tentang kehidupan dewasa—menemukan bahwa hubungan yang sehat, bukan kekayaan atau ketenaran, adalah faktor terbesar penentu kebahagiaan dan kedewasaan emosional seseorang. Orang dewasa yang bahagia cenderung mampu mengelola emosi, menerima diri, dan menjaga koneksi sosial yang bermakna.

Ciri Kedewasaan Menurut Psikologi Positif

Martin Seligman, pencetus positive psychology, menjelaskan bahwa orang dewasa yang sehat mentalnya menunjukkan tiga hal utama:

Kemampuan bertanggung jawab atas keputusan dan hidupnya sendiri. Kesiapan menerima kenyataan tanpa menyalahkan orang lain. Kapasitas untuk tetap optimis dan resilien saat menghadapi kegagalan.

Dalam jurnal Personality and Individual Differences, disebutkan bahwa orang yang dewasa secara psikologis memiliki emotional regulation tinggi—mampu merespons stres dan tekanan dengan cara yang konstruktif, bukan destruktif.

Menjadi Dewasa dalam Budaya Timur: Tentang Pengorbanan dan Harmoni

Dalam budaya timur, termasuk Indonesia, kedewasaan sering diidentikkan dengan kemampuan untuk menekan ego demi kepentingan bersama. Ini selaras dengan filosofi Jawa “nrimo ing pandum”—ikhlas menerima takdir dan tidak mudah mengeluh. Namun, penting untuk membedakan antara nrimo yang bijak dengan pasrah yang tidak berkembang.

Buku The Art of Being Human karya Michael Wesch juga menekankan bahwa menjadi dewasa secara sosial berarti belajar hidup dalam komunitas, berempati, dan memahami posisi diri dalam jejaring sosial yang lebih besar.

Kesimpulan: Tumbuh dalam Waktu, Dewasa dengan Kesadaran

Menjadi dewasa tidak bisa dipaksakan atau dipercepat. Ia lahir dari proses panjang yang melibatkan jatuh bangun, refleksi diri, dan keberanian untuk berubah. Sumber-sumber dari psikologi, budaya, dan pengalaman hidup mengajarkan kita bahwa dewasa bukan berarti sempurna, tapi terus belajar menjadi lebih baik.

Maka jika kamu sedang merasa “belum cukup dewasa”, tenanglah. Kedewasaan sejati tidak datang dalam satu malam, tapi tumbuh perlahan dalam perjalanan yang jujur—kepada diri sendiri, kepada orang lain, dan kepada kehidupan itu sendiri.